Menu Utama

Wednesday, March 23, 2011

PRT..Sudahkah Ku Penuhi Hakmu...?

Once in a week...seminggu sekali pembantu rumah tangga Ibunda diberi waktu libur, jadi selama satu hari itu Ibunda sibuk bukan kepalang..sampai-sampai ga sempet ol atau blogging deh. Cape sih sudah pasti, semua dikerjakan sendiri(kecuali masak sama ibuku..hehe). Terbersitlah di pikiran sebegitu banyaknya kewajiban pembantu, sudahkah Ibunda penuhi hak-haknya? Bukankah Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa orang yang bekerja dan membantu pekerjaan kita harus dibayar upahnya sebelum keringatnya menetes...naaah pembantu Ibunda sekarang aja kerja dulu baru digaji, dah berapa tetes keringatnya ya baru Ibunda kasih gaji. Tapi memang budaya kita kan memang begitu, kerja dulu baru diberikan gaji. OLeh karena itu Ibunda jadi pengen menelaah lebih jauh nih tentang pembantu rumah tangga, jangan sampai Ibunda mengabaikan haknya, sedangkan tenaganya terkuras untuk membantu pekerjaan-pekerjaan Ibunda.
Profesi pembantu rumah tangga muncul menggantikan peran dan fungsi domestik yang biasanya dilakukan seorang ibu rumah tangga, yang karena kondisi-kondisi tertentu tidak bisa dilakukan oleh ibu rumah tangga itu sendiri. Ada yang menggunakan jasa pembantu karena sang ibu rumah tangga harus bekerja untuk membantu suaminya memenuhi kebutuhan rumah tangganya, ada pula yang memang ibu rumah tangga tidak mampu mengerjakan pekerjaan rumah tangganya sendirian dikarenakan cukup kerepotan mengurus anak-anaknya, jadi fungsi-fungsi domestik seperti memasak, membereskan rumah, mencuci pakaian dan lain-lain dialihkan kepada pembantu rumah tangga. Fenomena yang ada saat ini sang ibu rumah tangga berasal dari kalangan menengah ke atas sedangkan pembantu rumah tangga biasanya berasal dari kalangan kelas bawah.
Menurut Neng Dara Affiah, salah satu anggota Komisi Paripurna Komnas Perempuan, masalah yang paling rumit adalah masalah struktural, yaitu kemiskinan. Bagi para perempuan kelas bawah, akses ke (pekerjaan) kantor tidak mudah (didapat). Yang paling mungkin adalah menjadi pekerja rumah tangga. Mempekerjakan pekerja rumah tangga merupakan satu kebutuhan bagi kelas menengah kota. Jadi, ada simbiosis mutualisme; mereka (perempuan dari kelas bawah) membutuhkan pekerjaan dan yang paling memungkinkan dengan keterampilan mereka adalah menjadi PRT. Sementara kelas menengah kota punya punya akses (besar) ke pekerjaan publik. Jadi muncul ketergantungan pada PRT di kalangan kelas menengah kota. Dua hal ini memiliki ketergantungan satu sama lain. Sayangnya, ada relasi power yang tidak seimbang. Ada hubungan yang tidak seimbang antara kelas menengah kota dengan perempun kelas bawah. Ketidakseimbangannya (bisa) soal keterampilan, dan lain-lain –dan (kondisi ini) memiliki kecenderungan melahirkan ketidakadilan. Persoalan pun timbul ketika pemerintah belum mengakui PRT sebagai pekerja formal. Akibatnya hak-hak mereka sebagai pekerja seperti hak atas gaji layak, istirahat cukup, cuti dan hak-hak lain-lainnya masih menjadi sebuah mimpi panjang. (http://www.komnasperempuan.or.id)
Lebih lanjut beliau mengatakan bagi (PRT) yang lemah, implikasi (ketidakseimbangan ini), mereka berada pada posisi yang lemah dan dilemahkan secara struktural. Apalagi karena memang belum ada aturan. Pertama, soal jaminan kehidupan buat mereka. Jarang PRT yang punya gaji sesuai UMR. Kalaupun kita tidak bisa menggaji setingkat UMR, tidak apa-apa, asal jam kerjanya kita batasi. Misalnya, mereka digaji sebulan Rp. 400.000,- tidak apa-apa. (Tapi jika tidak cukup, perlu ada kelonggaran waktu) supaya mereka punya kesempatan di tempat lain. Dengan demikian, kebutuhan mereka bisa jauh lebih terpenuhi. Yang kedua, soal penghidupan yang layak, tempat tinggal dan implikasi pola relasi power yang berkecenderungan pada kekerasan, pelecehan, dsb. Ini yang harus diatur berdasarkan prinsip-prinsip bahwa mereka tidak boleh dieskploitasi, tidak ada kekerasan. Mereka harus diperlakukan sebagai pekerja.
Terus bagaimana ya dengan PRT yang sudah kita anggap sebagai keluarga, menurut Neng Dara Affiah tidak kemudian atas nama kekeluargaan mereka tidak diberikan hak yang baik. Mereka harus tetap diberikan hak sebagai sesuatu yang tidak dapat ditinggalkan dan dirampas. Atas nama keluarga, jangan mengurangi hak-haknya sebagai manusia; jangan sampai berbungkus keluarga kita mengurangi hak-haknya sebagai pekerja. Tetap diperlukan standar perlindungan PRT. Kalau soal berapa gajinya, itu bisa dinegosiasikan; tapi prinsip-prinsip dasarnya harus dibangun.
Ternyata punya pembantu tidak sesederhana yang kita pikirkan. Tidak hanya soal pembantu kita bayar jadi  dia harus kerja seperti yang kita harapkan. Ada elemen-elemen penting lainnya yang harus kita perhatikan. Memang dengan seabgreg tugas yang harus dikerjakan, tanggung jawab yang harus dipikulnya sudah semestinya profesi ini lebih dihargai dengan lebih memperhatikan hak-haknya sebagai manusia, karena pembantu juga bukan robot yang bisa kita perintah seenaknya karena robot tidak bisa menuntut haknya.
Lantas intervensi pemerintah dalam merancang undang-undang untuk PRT ini seperti apa sih? Apakah sudah bisa menjembatani kepentingan PRT dan pengguna PRT sehingga simbiosis mutualisme antara keduanya bisa berjalan dengan baik tanpa ada ketimpangan di salah satu pihak? Kutipan dari rancangan undang-undang untuk PRT yang memuat tentang hak dan kewajiban PRT terdapat dalam BAB III Pasal 14 dan 15 adalah sebagai   berikut :

>> PRT berhak mendapatkan:
a. upah hidup layak;
b. berhak memperoleh informasi tentang jenis pekerjaan yang akan dilaksanakan;
c. tunjangan hari raya sebesar 1 (satu) bulan gaji;
d. waktu istirahat termasuk waktu istirahat mingguan dan tahunan;
e. tambahan pengetahuan/informasi dan keterampilan untuk meningkatkan produktivitas kerja;
f. kesempatan berkomunikasi dan memperoleh informasi dengan keluarga PRT;
g. kesempatan untuk berorganisasi atau berserikat;
h. menyusui anak bila memiliki bayi;
i. kesempatan untuk menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan;
j. memperoleh cuti melahirkan;
k. perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja termasuk kesehatan reproduksi;
l. perlakuan yang baik dan manusiawi dari PJPRT dan tidak mendapat perlakuan yang diskriminasi serta
tidak mendapat kekerasan dalam rumah tangga; dan
m. memperoleh pakaian minimal 3 stel dalam setahun.

>>Sedangkan kewajiban PRT adalah :
a.. melaksanakan pekerjaan dengan baik dan benar sesuai kesepakatan dan atau perjanjian kerja;b. menjaga kesusilaan dan keamanan di tempat kerja;
c. menjaga nama baik dan kerahasiaan keluarga yang bersifat pribadi pengguna jasa dan keluarganya;
d. memberitahukan kepada pengguna jasa PRT apabila PRT akan berhenti bekerja sekurang-kurangnya 15
(lima belas) hari kalender.
e. menyelesaikan setiap pekerjaan dengan baik;
f. ikut menjaga ketenangan, ketentraman dan keamanan rumah PJPRT.

Selanjutnya dalam BAB IV Pasal 16 dan 17 memuat tentang hak dan kewajiban pengguna jasa PRT (PJPRT) sebagai berikut :
>> Pengguna jasa PRT berhak:
a. memperoleh informasi mengenai PRT;
b. mendapatkan PRT yang terampil, loyal dan memiliki etos kerja yang baik;
c. mendapatkan hasil kerja PRT sesuai kesepakatan dan atau perjanjian kerja;

>> Pengguna jasa PRT berkewajiban:
a. membayar upah sesuai kesepakatan dan atau perjanjian kerja;
b. membayar tunjangan hari raya sebesar 1 (satu) bulan gaji;
c. memberikan waktu istirahat;
d. memberikan kesempatan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan;
e. memberikan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja;
f. memperlakukan PRT dengan baik dan manusiawi;
g. memberikan makanan dan minuman yang halal dan bergizi;
h. menyediakan fasilitas minimal;
i. melaporkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, kepada aparat
kelurahan/desa dan ketua RT/RW setempat;
j. memberi petunjuk yang jelas tentang tata cara pelaksanaan pekerjaan serta dibimbing dalam
melaksanakan pekerjaan;
k. memberikan pembinaan terhadap PRT;
l. menciptakan suasana kerja yang aman dan sehat;
m. menjaga keselamatan dan keamanan bagi PRT; dan
n. Tidak dipekerjakan pada pekerjaan dari orang di luar rumah tangga.

Selain itu dalam pasal berikutnya yaitu Pasal 24 dan 25 ditentukan pula waktu kerja dan istirahat PRT yaitu waktu kerja bagi PRT adalah waktu kerja yang fleksibel (flexible time) dengan ketentuan waktu kerja efektif
maksimal 10 (sepuluh) jam sehari yang disepakati oleh kedua belah pihak. Sedangkan PRT berhak atas istirahat antar waktu kerja, istirahat mingguan dan istirahat tahunan, waktu istirahat antar waktu kerja efektif, disesuaikan dengan waktu kerja efektif, waktu istirahat mingguan wajib diberikan sekurang-kurangnya 1 (satu) hari dalam seminggu, waktu istirahat tahunan wajib diberikan sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah PRT yang bersangkutan bekerja 12 (dua belas) bulan secara terus menerus. Teknis pengambilan waktu istirahat disesuaikan dengan kesepakatan antara PRT dengan pengguna PRT.
(http://maskokilima.files.wordpress.com)

Terlepas apakah undang-undang tersebut disahkan atau tidak, perlindungan terhadap PRT memang sudah menjadi kewajiban para pengguna PRT, prinsip saling menghargai antar sesama manusia harus kita terapkan. Saling memahami hak dan kewajiban masing-masing akan lebih memudahkan terjalinnya hubungan kerja yang kondusif, sehingga tidak perlu ada kasus-kasus kekerasan terhadap PRT atau PRT mengambil milik majikan yang bukan haknya. 
Pada hakekatnya PRT adalah perempuan pejuang keluarga, mencari strategi dan inisiatif-insiatif untuk tetap menjaga kelangsungan hidup diri dan terutama keluarga. Perbedaan kelas terasa tidak adil bagi orang-orang yang termiskinkan karena tidak punya cukup akses terhadap pendidikan, keterampilan, modal dan sebagainya. Dalam konteks inilah campur tangan negara untuk melindungi hak-hak para PRT menjadi sebuah keharusan.

Related Post:

0 komentar:

Post a Comment